02 Desember 2007

Mengikis Praktik Diskriminasi Etnis Tionghoa

Mengikis Praktik Diskriminasi Etnis Tionghoa

Dalam berpolitik, mengapa warga etnis Tionghoa hingga kini tidak (mau) banyak terjun ke dunia politik bukan karena
warga etnis Tionghoa tidak (mau) berpolitik, namun akibat sistem yang diskriminatif yang sesungguhnya membuat etnis
ini tidak (bisa) terjun 'bebas berpolitik'

Saat ini Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi masih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Keberadaan Undang-Undang ini memang sangat dibutuhkan di tengah maraknya praktek diskriminasi yang terus saja
terjadi dari dulu hingga sekarang. Di antara kelompok yang selalu menjadi korban praktik diskrimasi adalah etnis
Tionghoa yang sudah merasakan diskriminasi sejak zaman pra-kemerdekaan hingga saat ini.

Sebetulnya, bahasan mengenai etnis Tionghoa bukan masalah baru, tapi hal ini masih penting didiskusikan kembali
sebab praktik diskriminasi etnis Tionghoa masih terus terjadi. Lebih dari itu, praktik diskriminasi juga telah lama
dijalankan, utamanya di masa Orde Baru (Orba). Di masa Orba itu, pintu kebebasan dan saluran komunikasi publik
khususnya terhadap etnis Tionghoa sangat tertutup rapat. Tak heran, kalau peran warga etnis Tionghoa dalam berbagai
bidang, khususnya politik, sangat terbatas.

Seiring tumbangnya Orba, suasana hidup berbangsa mulai berubah ditandai dengan pintu kebebasan berdemokrasi dan
berpendapat mulai dibuka. Namun demikian, pola dan praktik diskriminasi di era reformasi seperti saat ini bukan berarti
sudah tidak ada masalah. Justru masih menyisakan masalah. Hanya saja, bentuk dan ragam polanya telah berubah.

Belum lama ini, penulis melakukan wawancara khusus dengan Aliptojo Wongsodihardjo, Ketua Umum Perhimpunan
Indonesia Tionghoa (INTI) Jatim. Dalam wawancara itu, Aliptojo mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir, di
Surabaya, diskriminasi etnis Tionghoa masih terus saja terjadi. Mulai dari diskriminasi oleh pemerintah kota dengan
adanya pemberlakuan kebijakan 'tidak adil' yaitu Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam
urusan kependudukan dan publik meski peraturan perundang-undangan sudah mengatur tapi dalam realitasnya masih
saja dilanggar. Meski tak kelihatan secara kasat mata praktik diskriminasi dalam berpolitik juga terjadi.

Karenanya, ia berharap praktik diskriminasi bisa dikikis sedikit demi sedikit hingga akhirnya tak ada perbedaan dan
praktik diskriminasi (Aliptojo, 2007).

Dalam berpolitik, mengapa warga etnis Tionghoa hingga kini tidak (mau) banyak terjun ke dunia politik bukan karena
warga etnis Tionghoa tidak (mau) berpolitik, namun akibat sistem yang diskriminatif yang sesungguhnya membuat etnis
ini tidak (bisa) terjun 'bebas berpolitik'. Tidak saja dalam konteks politik nasional tetapi juga lokal, seperti pilkada/ pilgub.
Dalam pilkada di Surabaya lalu, misalnya, sangat tampak warga etnis Tionghoa masih 'takut' dalam berpolitik. Karena,
perasaan was-was masih terus menghantui warga etnis ini.

Secara historis, citra negatif etnis Tionghoa memiliki akar yang sangat panjang. Menurut pakar dan peneliti sejarah LIPI,
Asvi Warman Adam, mengatakan bahwa secara historis, sejak masa sebelum kedatangan bangsa Eropa, terutama pada
masa kolonial. Masalah China (baca: Tiongkok) (Chineesche Kwestie) baru menghangat di koloni ini sejak 1900-an
ketika timbul gerakan nasionalisme kaum peranakan China di Indonesia.

Hal berbeda tapi agak serupa diungkap Andjarwati Noordjanah (2004) dalam bukunya Komunitas Tionghoa di Surabaya.
Andjarwati menengarai praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa hingga kini masih menggejala baik secara struktural
maupun kultural. Secara kultural, dalam benak penduduk “pribumi” nampaknya masih tersimpan stereotip
yang memang “sengaja” dibuat sejak berabad-abad silam, bahwa warga etnis Tionghoa adalah warga
“kelas dua”.

Anggapan itulah yang bagi warga etnis Tionghoa merupakan satu contoh tindakan diskriminatif yang barangkali tidak
disadari oleh warga pribumi. Sebetulnya, penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi atau “kelas kedua” di
sini tidak tepat, namun karena dalam realitasnya masih saja dipakai, sengaja atau tidak, akibatnya terjadilah stereotiping.
Karenanya, barangkali tepat bila istilah-istilah tersebut tidak seharusnya dipakai atau disebut lagi dalam interaksi sosial.
Pasalnya, ungkapan-ungkapan semacam itu terasa bisa menyakiti pihak-pihak tertentu.

Berbeda dengan Andjarwati, Aliptojo melihat akar masalah merebaknya praktik diskriminasi di negeri ini, termasuk di
Jawa Timur, sesungguhnya bukan lebih disebabkan oleh masyarakat (kultural), tetapi disebabkan oleh faktor struktural di
mana negara melalui produk hukumnya yang dianggap masih berbau “kolonial” melanggengkan praktik
diskriminasi.

Pasalnya, masyarakat Indonesia, khususnya Jawa Timur, meski berbeda suku, budaya, agama, etnis dan bahasa,
faktanya justru tidak terlalu mempermasalahkan keragaman tersebut. Masalahnya justru ada pada hukum yang secara
langsung maupun tidak mendorong orang untuk menafsirkan pada hal-hal yang mengarah pada pola dan praktik
diskriminatif.

Misal saja, secara substansial beberapa di antaranya adalah praktik dan pola diskriminatif dalam undang-undang yang
mengatur masalah dispenduk (Dinas Kependudukan). Nah, di sini warga etnis Tionghoa masih saja dipersulit dalam
mengurus urusan asal usul dan status kewarganegaraan. Akibatnya, tidak sedikit warga etnis Tionghoa yang belum
memiliki status kewarganegaraannya hingga saat ini.

Karena masalahnya lebih pada aspek hukum, maka dalam konteks semacam ini langkah pertama yang harus ditempuh
adalah hukum yang berbau diskriminatif itu perlu segera diubah dengan peraturan atau hukum baru yang lebih terbuka
dan anti diskriminatif terhadap etnis apapun dan siapapun, khususnya etnis Tionghoa. Anggota dewan tentu saja harus
memperhatikan kasus dan masalah ini dalam membahas Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi yang sedang
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Jalan Lain

Bagi masyarakat secara umum, barangkali bisa ikut serta dalam menghapus praktik diskriminasi di tanah air dengan
tidak berbuat sesuatu yang mengarah pada praktik diskriminatif.

Selain langkah tersebut di atas, jalan lain yang bisa ditempuh adalah melalui penyelenggaraan model pendidikan antidiskriminatif.
Tujuan pendidikan ini adalah memberikan pemahaman bahwa praktik diskriminasi itu tidak baik dan perlu
dihindari dengan membiasakan hidup tidak saling bermusuhan dan mendiskriminasi hanya disebabkan karena berbeda
suku, etnis, agama dan budaya.

Dalam konteks wawasan nasionalisme, model pendidikan ini juga menanamkan spirit nilai-nilai kebangsaan yang akhirakhir
ini semakin mengikis di tengah praktik cinta tanah air dan bangsa yang mulai hilang dan tampak sangat ritual
formalistik. Karenanya, cinta tanah air dan bangsa perlu dipahami dan dipraktikkan mulai sejak dini, terutama usia-usia
kanak-kanak dan masyarakat juga bisa membiasakan diri dengan kegiatan yang mengarah pada pola hidup demokratis,
multikulturalis, dan nasionalistik.

Singkat kata, pendidikan dan hukum adalah dua entitas penting yang mampu memperkuat terciptanya kesadaran
masyarakat. Kesadaran ini menjadi penting sebab kesadaran menuntun pikiran. Pikiran akan menuntun pada tindakan.
Jadi, tindakan diskriminasi sesungguhnya akar masalahnya lebih pada basis kesadaran ketimbang yang lain.

Hukum tidak lain lahir dimaksudkan karena belum sadarnya masyarakat akan sesuatu hal. Karenanya, dibuatlah aturanaturan.
Demikian pula pendidikan, esensinya barangkali juga karena masyarkatnya belum begitu terdidik dalam
pengertian luas.

Akhir kata, hukum dan pendidikan selain mampu berperan sebagai media penyadaran juga sebagai juru selamat bagi
seluruh umat manusia yang menjadi korban diskriminasi ras, etnis, agama, bahasa, suku dan status sosial. Hal itu saya
kira menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah yang belum digarap secara baik. Wallahu a'lam.***

Choirul Mahfud

Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Warna Hijau

Hijau ialah warna yang biasa tampak dalam alam semula jadi, khususnya tumbuh-tumbuhan. Kebanyakan tumbuh-tumbuhan berwarna hijau, terutamanya kerana tumbuh-tumbuhan mempunyai klorofil, sejenis sebatian yang terlibat dalam proses fotosintesis.

Cahaya hijau mempunyai panjang gelombang di sekitar 520–570 nanometer, dan dianggap sebagai salah satu daripada warna primer tambahan. Hijau ialah warna pelengkap untuk warna magenta; lebih tepat, warna hijau dengan kod perenambelasan #FF00FF. Orang-orang yang buta warna seringnya dapat membedakan kedua-dua warna ini, tetapi keliru antara warna-warna ini dengan warna-warna yang lain; umpamanya, hijau terang dengan kuning, dan hijau tua dengan coklat.


Penggunaan Warna Hijau

  • Warna hijau melambangkan pergi untuk isyarat lampu, isyarat kereta api, dan isyarat kapal.
  • Pada Zaman Pertengahan, hijau melambangkan makhluk jahat atau hantu (termasuk naga Eropah, dan terekadang cinta).
  • Di China kuno, warna hijau ialah lambang untuk Timur dan Kayu, salah satu daripada lima warna utama.
  • Di pasaran saham Amerika Utara, warna hijau digunakan untuk melambangkan kenaikan harga saham. Bagaimanapun, di pasaran saham Asia Timur, warna hijau digunakan untuk lawannya, iaitu penurunan harga saham.
  • Dalam perombaan kereta, bendera hijau menandakan permulaan atau penyambungan semula perlombaan.
  • Warna hijau ialah warna tradisi untuk sains suci canon law.
  • Disebabkan sifat penyamaran, warna hijau biasa dipergunakan untuk pakaian seragam lapangan bagi perkhidmatan tentara. Warna ini juga digunakan sebagai pakaian seragam untuk banyak angkatan tentara darat dan laut.
  • Warna hijau ialah lambang untuk Ireland yang sering dirujuk sebagai "Pulau Batu Zamrud". Warna ini khususnya dikaitkan kepada tradisi republik dan nationalisme pada zaman modern, dan digunakan dalam maksud ini untuk bendera Republik Ireland, dengan keseimbangan dengan warna Protestan.
  • Warna hijau juga bertindak sebagai lambang untuk bahasa Esperanto. Warna ini dikaitkan, khususnya, kepada bintang hijau dalam bendera Esperanto.
  • Warna hijau juga dianggap sebagai warna tradisi untuk agama Islam, disebabkan perkaitannya dengan alam semula jadi. Nabi Muhammad disebut dengan pasti dalam hadis sebagai berkata bahawa "air, tumbuhan-tumbuhan hijau, dan wajah yang jelita" merupakan tiga benda sejagat yang baik. Selain itu, dalam sura Al-Insan di dalam al-Quran, pengikut-pengikut Allah di Jannah dikatakan memakai sutera hijau yang bagus sekali [1].
  • Skrin Hijau merupakan nama am untuk paparan komputer CRT monokrom yang menggunakan skrin fosfor P1.
  • Perasaan iri hati sering dikaitkan secara tradisi dengan warna hijau.

Warna Merah

Merah atau warna merah adalah warna di frekuensi cahaya yang paling rendah yang kelihatan atau dapat ditangkap pada mata manusia. Cahaya merah mempunyai panjang gelombang dengan jangkauan sekitar 630-760 nm. Darah yang diberi oksigen menjadi berwarna merah karena adanya hemoglobin. Cahaya merah adalah cahaya yang pertama diserap oleh air laut, sehingga banyak ikan dan invertebrata kelautan yang kelihatannya merah saga (merah cerah) menjadi kelihatan hitam di habitat asli mereka.

Merah adalah salah satu warna primer additif, merupakan komplemen dari warna cyan (biru kehijau-hijauan). Warna merah pernah dipertimbangkan untuk menjadi warna primer subtraktif, dan kadang-kadang masih tergambar sebagai seperti itu di tulisan yang tidak ilmiah; akan tetapi, warna cyan, magenta dan kuning sekarang diketahui lebih dekat ke warna primer subtraktif yang dapat dideteksi oleh mata, dan dipakai di pencetakan warna modern.

Pada frekuensi yang lebih rendah disebut infra merah, atau merah jauh.

Filter berwarna merah yang dipakai pada fotografi hitam dan putih meningkatkan kontras (perbedaan meyolok) disebagian besar hasil gambar. Misalnya, gabungan dengan polarizer, bisa membuat warna langit menjadi hitam. Negatif film yang menirukan efek dari film infra merah (seperti SFX Ilford 200) lakukan, dengan lebih peka terhadap warna merah daripada warna-warna lainnya.



Penggunaan, simbolisasi, keseharian

  • Merah adalah warna kehangatan, contoh penggunaannya untuk menunjukkan daerah yang lebih hangat pada peta cuaca, atau untuk peringatan yang berhubungan dengan panas. Kendaraan pemadam kebakaran identik dengan warna merah.
  • Warna merah menarik perhatian orang-orang, dan sering dipergunakan untuk menunjukkan bahaya atau keadaan darurat
  • Merah adalah warna yang melambangkan panas dan api. Keran untuk air panas biasanya diberi tanda atau label berwarna merah.
  • Warna merah menunjukkan arti berhenti, contohnya pada rambu-rambu STOP, lampu lalu lintas (lampu merah), lampu rem pada kendaraan
  • Palang Merah atau Bulan Sabit Merah menandakan personalia medis, fasilitas, atau perlengkapan, atau Konvensi Jenewa.
  • Warna merah menunjukkan bahaya ekstrim atau bahaya besar pada skala kode-warna dunia Barat, misalnya seperti tanda bahaya maupun Sistem Keamanan Negara AS (en: Homeland Security Advisory System).
  • Dalam sepak bola, kartu merah menandakan pelanggaran berat dan akibatnya adalah pengusiran terhadap seorang pemain keluar lapangan.
  • Dalam balapan mobil, bendera merah adalah tanda untuk semua mobil segera berhenti. Redline (garis merah) adalah kecepatan maksimum mesin dan komponen-komponen lainnya bisa berjalan.
  • Pintu darurat pada pesawat udara penumpang ditunjukkan oleh tanda dan penerangan merah.
  • Merah adalah warna untuk cinta lahir maupun batin. Warna merah juga menunjukkan kemarahan, seperti muka yang memerah. Tetapi warna merah juga menunjukkan rasa malu, misalnya karena di goda maupun dipermalukan.
  • Identik dengan warna darah, maka merah dihubungkan dengan dewa perang, Mars, dan planet kemerah-merahan menjadi sebutan bagi planet Mars. Ungkapan kata merah-darah mencerminkan seseorang yang berani, kuat, atau bersifat jantan.
  • Pada kejadian Perang Saudara Rusia dan Perang Saudara Finlandia adalah peperangan di antara Tentara Merah dan Tentara Putih.
  • Identifikasi Komunisme dengan "Sosialis" merah - dengan bendera merah menjadi warna utama bendera Uni Soviet dan bintang merah yang menjadi emblem atau lambang Komunis yang dibawa ke frase Perang Dingin sebagai "Ancaman Merah" (the Red Menace) dan Tiongkok Merah - membedakannya dari Tiongkok Nasionalis, "Free China", atau Taiwan. Warna merah juga dihubungkan dengan kendaraan politik seperti Penjaga Merah Tiongkok dan Penjaga Merah Rusia selama Revolusi Rusia maupun kelompok kemiliteran seperti misalnya Faksi Tentara Merah di Jerman dan Tentara Merah Jepang.
  • Menjadi simbolisasi dalam budaya Tionghoa, merah adalah warna keberuntungan dan menjadi warna untuk pakaian pernikahan. Uang dalam masyarakat Tionghoa biasa diberikan dalam amplop merah (angpao)
  • Tinta merah dipergunakan untuk menunjukkan hutang - sama juga seperti dengan kerugian dalam laporan neraca (dalam kaitannya warna merah menandakan kerugian ekonomi).
  • Di bursa saham Amerika Utara, merah dipergunakan untuk menunjukkan penurunan di harga saham. Di bursa saham Asia Timur, merah dipergunakan untuk menunjukkan kenaikan di harga saham.
  • Di peta politik, warna merah secara tradisi digunakan partai politik sebagai berikut:
  • Warna merah juga merupakan salah satu warna utama dalam Natal, selain warna hijau dan putih.
  • Dalam Sejarah Militer Jepang warna merah adalah warna bendera kemiliteran yang digunakan oleh klan Heike Heike (atau Taira) dan juga klan Genji atau (Minamoto), yang merupakan dua klan yang berjuang untuk kekuasaan pada era Heian di akhir abad 12.
  • Merah adalah kata yang digunakan untuk ikan jenis Myripristis dalam Bahasa Tobia.
  • Merah adalah warna dengan nilai terendah dalam bola yang dipergunakan untuk permainan snooker.
  • Ada 150 negara yang menyertakan warna merah di Bendera Nasional kebangsaannya.