Mengikis Praktik Diskriminasi Etnis Tionghoa
Dalam berpolitik, mengapa warga etnis Tionghoa hingga kini tidak (mau) banyak terjun ke dunia politik bukan karena
warga etnis Tionghoa tidak (mau) berpolitik, namun akibat sistem yang diskriminatif yang sesungguhnya membuat etnis
ini tidak (bisa) terjun 'bebas berpolitik'
Saat ini Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi masih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Keberadaan Undang-Undang ini memang sangat dibutuhkan di tengah maraknya praktek diskriminasi yang terus saja
terjadi dari dulu hingga sekarang. Di antara kelompok yang selalu menjadi korban praktik diskrimasi adalah etnis
Tionghoa yang sudah merasakan diskriminasi sejak zaman pra-kemerdekaan hingga saat ini.
Sebetulnya, bahasan mengenai etnis Tionghoa bukan masalah baru, tapi hal ini masih penting didiskusikan kembali
sebab praktik diskriminasi etnis Tionghoa masih terus terjadi. Lebih dari itu, praktik diskriminasi juga telah lama
dijalankan, utamanya di masa Orde Baru (Orba). Di masa Orba itu, pintu kebebasan dan saluran komunikasi publik
khususnya terhadap etnis Tionghoa sangat tertutup rapat. Tak heran, kalau peran warga etnis Tionghoa dalam berbagai
bidang, khususnya politik, sangat terbatas.
Seiring tumbangnya Orba, suasana hidup berbangsa mulai berubah ditandai dengan pintu kebebasan berdemokrasi dan
berpendapat mulai dibuka. Namun demikian, pola dan praktik diskriminasi di era reformasi seperti saat ini bukan berarti
sudah tidak ada masalah. Justru masih menyisakan masalah. Hanya saja, bentuk dan ragam polanya telah berubah.
Belum lama ini, penulis melakukan wawancara khusus dengan Aliptojo Wongsodihardjo, Ketua Umum Perhimpunan
Indonesia Tionghoa (INTI) Jatim. Dalam wawancara itu, Aliptojo mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir, di
Surabaya, diskriminasi etnis Tionghoa masih terus saja terjadi. Mulai dari diskriminasi oleh pemerintah kota dengan
adanya pemberlakuan kebijakan 'tidak adil' yaitu Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam
urusan kependudukan dan publik meski peraturan perundang-undangan sudah mengatur tapi dalam realitasnya masih
saja dilanggar. Meski tak kelihatan secara kasat mata praktik diskriminasi dalam berpolitik juga terjadi.
Karenanya, ia berharap praktik diskriminasi bisa dikikis sedikit demi sedikit hingga akhirnya tak ada perbedaan dan
praktik diskriminasi (Aliptojo, 2007).
Dalam berpolitik, mengapa warga etnis Tionghoa hingga kini tidak (mau) banyak terjun ke dunia politik bukan karena
warga etnis Tionghoa tidak (mau) berpolitik, namun akibat sistem yang diskriminatif yang sesungguhnya membuat etnis
ini tidak (bisa) terjun 'bebas berpolitik'. Tidak saja dalam konteks politik nasional tetapi juga lokal, seperti pilkada/ pilgub.
Dalam pilkada di Surabaya lalu, misalnya, sangat tampak warga etnis Tionghoa masih 'takut' dalam berpolitik. Karena,
perasaan was-was masih terus menghantui warga etnis ini.
Secara historis, citra negatif etnis Tionghoa memiliki akar yang sangat panjang. Menurut pakar dan peneliti sejarah LIPI,
Asvi Warman Adam, mengatakan bahwa secara historis, sejak masa sebelum kedatangan bangsa Eropa, terutama pada
masa kolonial. Masalah China (baca: Tiongkok) (Chineesche Kwestie) baru menghangat di koloni ini sejak 1900-an
ketika timbul gerakan nasionalisme kaum peranakan China di Indonesia.
Hal berbeda tapi agak serupa diungkap Andjarwati Noordjanah (2004) dalam bukunya Komunitas Tionghoa di Surabaya.
Andjarwati menengarai praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa hingga kini masih menggejala baik secara struktural
maupun kultural. Secara kultural, dalam benak penduduk “pribumi” nampaknya masih tersimpan stereotip
yang memang “sengaja” dibuat sejak berabad-abad silam, bahwa warga etnis Tionghoa adalah warga
“kelas dua”.
Anggapan itulah yang bagi warga etnis Tionghoa merupakan satu contoh tindakan diskriminatif yang barangkali tidak
disadari oleh warga pribumi. Sebetulnya, penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi atau “kelas kedua” di
sini tidak tepat, namun karena dalam realitasnya masih saja dipakai, sengaja atau tidak, akibatnya terjadilah stereotiping.
Karenanya, barangkali tepat bila istilah-istilah tersebut tidak seharusnya dipakai atau disebut lagi dalam interaksi sosial.
Pasalnya, ungkapan-ungkapan semacam itu terasa bisa menyakiti pihak-pihak tertentu.
Berbeda dengan Andjarwati, Aliptojo melihat akar masalah merebaknya praktik diskriminasi di negeri ini, termasuk di
Jawa Timur, sesungguhnya bukan lebih disebabkan oleh masyarakat (kultural), tetapi disebabkan oleh faktor struktural di
mana negara melalui produk hukumnya yang dianggap masih berbau “kolonial” melanggengkan praktik
diskriminasi.
Pasalnya, masyarakat Indonesia, khususnya Jawa Timur, meski berbeda suku, budaya, agama, etnis dan bahasa,
faktanya justru tidak terlalu mempermasalahkan keragaman tersebut. Masalahnya justru ada pada hukum yang secara
langsung maupun tidak mendorong orang untuk menafsirkan pada hal-hal yang mengarah pada pola dan praktik
diskriminatif.
Misal saja, secara substansial beberapa di antaranya adalah praktik dan pola diskriminatif dalam undang-undang yang
mengatur masalah dispenduk (Dinas Kependudukan). Nah, di sini warga etnis Tionghoa masih saja dipersulit dalam
mengurus urusan asal usul dan status kewarganegaraan. Akibatnya, tidak sedikit warga etnis Tionghoa yang belum
memiliki status kewarganegaraannya hingga saat ini.
Karena masalahnya lebih pada aspek hukum, maka dalam konteks semacam ini langkah pertama yang harus ditempuh
adalah hukum yang berbau diskriminatif itu perlu segera diubah dengan peraturan atau hukum baru yang lebih terbuka
dan anti diskriminatif terhadap etnis apapun dan siapapun, khususnya etnis Tionghoa. Anggota dewan tentu saja harus
memperhatikan kasus dan masalah ini dalam membahas Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi yang sedang
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Jalan Lain
Bagi masyarakat secara umum, barangkali bisa ikut serta dalam menghapus praktik diskriminasi di tanah air dengan
tidak berbuat sesuatu yang mengarah pada praktik diskriminatif.
Selain langkah tersebut di atas, jalan lain yang bisa ditempuh adalah melalui penyelenggaraan model pendidikan antidiskriminatif.
Tujuan pendidikan ini adalah memberikan pemahaman bahwa praktik diskriminasi itu tidak baik dan perlu
dihindari dengan membiasakan hidup tidak saling bermusuhan dan mendiskriminasi hanya disebabkan karena berbeda
suku, etnis, agama dan budaya.
Dalam konteks wawasan nasionalisme, model pendidikan ini juga menanamkan spirit nilai-nilai kebangsaan yang akhirakhir
ini semakin mengikis di tengah praktik cinta tanah air dan bangsa yang mulai hilang dan tampak sangat ritual
formalistik. Karenanya, cinta tanah air dan bangsa perlu dipahami dan dipraktikkan mulai sejak dini, terutama usia-usia
kanak-kanak dan masyarakat juga bisa membiasakan diri dengan kegiatan yang mengarah pada pola hidup demokratis,
multikulturalis, dan nasionalistik.
Singkat kata, pendidikan dan hukum adalah dua entitas penting yang mampu memperkuat terciptanya kesadaran
masyarakat. Kesadaran ini menjadi penting sebab kesadaran menuntun pikiran. Pikiran akan menuntun pada tindakan.
Jadi, tindakan diskriminasi sesungguhnya akar masalahnya lebih pada basis kesadaran ketimbang yang lain.
Hukum tidak lain lahir dimaksudkan karena belum sadarnya masyarakat akan sesuatu hal. Karenanya, dibuatlah aturanaturan.
Demikian pula pendidikan, esensinya barangkali juga karena masyarkatnya belum begitu terdidik dalam
pengertian luas.
Akhir kata, hukum dan pendidikan selain mampu berperan sebagai media penyadaran juga sebagai juru selamat bagi
seluruh umat manusia yang menjadi korban diskriminasi ras, etnis, agama, bahasa, suku dan status sosial. Hal itu saya
kira menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah yang belum digarap secara baik. Wallahu a'lam.***
Choirul Mahfud
Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Massagem, I hope you enjoy. The address is http://massagem-brasil.blogspot.com. A hug.
[url=http://ivlkrwnnz.com]NMzjhkzKeWF[/url] , qJbUAktOKEsQuXRK - http://hhmgziigpu.com
Posting Komentar