29 Oktober 2007

Puyer 16 masih menduduki posisi #1 dlm obat sakit kepala

Kenapa Puyer Bintang Toedjoe #1?
Saat ini badan survey customer satisfaction demikian gencarnya melakukan survey terhadap perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk mengukur sampai dimana kepuasan pelanggan mereka terhadap servis yang diberikan perusahaan.
Survai ini bahkan dilakukan oleh suatu perusahaan riset dan sebuah majalah bisnis di Indonesia yang lebih dikenal di Indonesia dengan survai Indonesia customer/consumer satisfaction index (ICSI).

Seperti telah kita ketahui, survai tersebut dilakukan terhadap 42 kategori produk konsumsi di enam kota utama di Indonesia.

Survai juga mencoba mengukur tiga dimensi kepuasan pelanggan, yaitu kepuasan terhadap kualitas produk (quality satisfaction), kepuasan terhadap harga berdasarkan kualitas yang diterima (value satisfaction), dan persepsi pelanggan mengenai merek secara keseluruhan -- kualitas, harga, dan lain-lain -- yang dinilai paling baik (perceived best).

Ada yang menarik dari hasil survai ICSI tersebut.
Satu diantaranya adalah kenyataan bahwa merek-merek hasil rejuvenasi atau gampangnya merek hasil peremajaan, di luar dugaan kita, mendapat tempat yang cukup bahkan sangat layak dalam peringkat ICSI.

Ambil contoh Puyer Bintang Toedjoe No. 16. Produk yang usianya hampir kepala enam itu menduduki singgasana peringkat untuk kategori obat sakit kepala, malah 60 persen market share di kategori obat sakit kepala Puyer Nomor 16 cukup mendominasi di pasar obat sakit kepala. mengalahkan ''daun-daun muda'' seperti Paramex, Panadol atau Bodrex. Juga, Woods yang di luar dugaan mampu nongkrong di posisi keempat untuk kategori obat batuk mengungguli pemain-pemain kakap macam Benadryl, Konidin, atau OBH Combi Plus.
Pertanyaannya, kenapa prestasi mereka dalam memuaskan pelangan cukup bagus? Karena kebetulan atau karena memang ada alasan rasional di baliknya? Jawabnya saya kira bisa keduanya. Sebagai sebuah kasus saya akan mencoba membuat analisis kecil mengenai bagaimana Puyer Bintang Toedjoe (PBT) bisa menjadi jawara.

Dari sini saya mencoba melihat apakah ini berlaku umum bagi merek-merek yang diremajakan. Saya melihat ada dua faktor kunci kenapa kinerja pemuasan pelanggan merek ini bagus. Faktor yang pertama adalah kekuatan merek. Dan faktor kedua adalah pelanggan yang sangat loyal yang berasal dari kalangan tradisional menengah-bawah dan umumnya adalah orang-orang tua. Coba kita urai lagi lebih lanjut dua faktor ini.Apa unsur kekuatan merek PBT? Kekuatannya saya kira terletak pada persepsi kualitas (perceived quality) yang amat tinggi. Persepsi kualitas ini terbentuk oleh kokohnya beberapa atribut kualitas yang menjadi tulang-punggung PBT, yaitu kemanjuran dan kekhasiatan puyer, availibility plus accessability produk, keamanan obat yang telah teruji puluhan tahun, dan terakhir yang saya kira sangat penting adalah brand credibility. Persepsi kualitas ini amat kokoh karena PBT membuktikanya dalam rentang waktu sangat panjang. Dalam kurun waktu panjang itu pengalaman yang didapat pelanggannya cukup stabil dan positif. Hal terakhir inilah yang saya kira tak dimiliki oleh pesaing-pesaingnya yang lebih muda. Kekuatan merek saja tentu saja tak cukup. Faktor ini menjadi semakin berarti karena didukung oleh faktor kedua yaitu lapis pelanggan yang sangat loyal. Pelanggan PBT umumnya adalah kalangan tradisional menengah-bawah yang telah mengkonsumsi PBT selama bertahun-tahun dan karena itu sulit berpindah ke obat lain. Hubungan jangka panjang ini memungkinkan terjadinya proses saling belajar dan tercapainya ''kesepahaman'' antara PBT dan pelanggannya mengenai standar proposisi nilai yang hendak dipertukarkan: di satu sisi pelanggan semakin mengerti tingkat dan standar kinerja produk. Sementara di sisi lain, PBT semakin memahami tingkat ekspektasi pelanggan. Saya kira sulit proses saling memahami antara produsen dan pelanggan ini dapat terbangun tanpa hubungan intim dalam kurun waktu yang lama, bisa jadi hingga puluhan tahun. Akibat dari proses belajar dan adanya kesepahaman ini adalah pemahaman dan persepsi PBT mengenai ekspektasi pelanggannya semakin mendekati ekspektasi pelanggan yang sesungguhnya. Harus diingat bahwa kepuasan pelanggan terbangun jika persepsi si produsen mengenai ekspektasi pelanggannya sama atau setidaknya mendekati -- atau dengan kata lain tak terjadi gap -- dengan ekspektasi sesungguhnya, dan apabila si produsen mampu memenuhi ekspektasi tersebut secara baik. Barangkali ada untungnya juga PBT memiliki pelanggan tradisional yang relatif lebih konservatif, yang bisa kita duga ekspektasinya relatif stabil. Ini masih ditunjang strategi promosi PBT yang juga konservatif, sehingga ekspektasi pelanggannya dapat dijaga konstan, bukannya terus terdongkrak naik. Dengan dua kenyataan ini bisa diduga bahwa gap di atas menjadi relatif kecil dibandingkan pesaing-pesaingnya. Kembali ke peremajaan merek. Saya kira modal terbesar dari merek-merek yang dulunya kokoh, kemudian tenggelam, dan kini diremajakan adalah faktor pelanggan loyal ini. Bisa jadi pelanggan loyal ini semakin hari semakin menyusut, tapi itu tidak dengan sendirinya menurunkan tingkat loyalitas mereka. Seperti halnya PBT, basis pelanggan loyal ini umumnya terbangun karena relationship jangka panjang yang sudah teruji. Mereka umumnya sudah cukup lama ''berhubungan intim'' dengan si pelanggan, sehingga tahu luar-dalam pelanggannya. Sebaliknya, si pelanggan juga tahu luar-dalam si merek. Proses tahu sama tahu ini kemudian diikuti dengan proses “saling pengertian” diantara keduanya. Dan akhirnya, saling mengerti antara si merek dan si pelanggan inilah saya kira yang menjadi landasan terciptanya kepuasan konsumen.Mengakhiri tulisan ini saya ingin memberikan catatan kecil untuk PBT. Saya menduga kepuasan yang tinggi ini datang dari core customer PBT di atas, yaitu kelompok tradisional tua yang umumnya berada di pedesaan. Tantangan bagi PBT adalah mampu tidak puyer ini ''diwariskan'' ke generasi-generasi yang lebih muda. Kita tahu gempuran iklan pesaingnya yang lebih ''modern'' semakin memojokkan PBT pada positioning yang barangkali kurang menguntungkan, yaitu tradisional dan old-fashioned alias tua. Kalau ini tak mampu dilakukan, barangkali tingkat kepuasan pelanggannya akan tetap tinggi, tapi dengan jumlah yang dari hari ke hari semakin menyusut.


sumber : www.republika.co.id

Tidak ada komentar: